Langsung ke konten utama

Perubahan Budaya Jawa

Era tahun 80 an

1. Sikap Malu-Malu (Terutama Laki-Laki):

Remaja laki-laki Jawa umumnya tidak berani mengungkapkan perasaan secara langsung.

Mereka sering menunjukkan rasa suka lewat tindakan kecil, bukan kata-kata.

Hal ini berbeda dengan budaya barat yang lebih ekspresif.

2. Perempuan yang Aktif Merupakan Keanehan Sosial Saat Itu:

Meski jarang, ada juga kasus di mana perempuan (misalnya kelas 3 SMP) yang berani menyatakan perasaan atau mendekati laki-laki duluan.

Pada masa itu, hal seperti ini dianggap aneh atau tidak umum, tapi faktanya memang ada.

Ini menunjukkan bahwa bahkan di dalam budaya tradisional pun selalu ada pengecualian atau perubahan kecil yang terjadi secara alami.

"Remaja Jawa Tahun 1982: Diam-Diam Suka"

Pada tahun 1982, remaja di Jawa hidup dalam suasana sosial yang sangat berbeda dibandingkan zaman sekarang. Ekspresi perasaan, terutama dalam hal percintaan, sangat dibatasi oleh rasa malu, adat, dan norma kesopanan. Seorang remaja laki-laki yang menyukai teman sekelasnya, misalnya, biasanya hanya bisa memandangi dari jauh, atau menunjukkan rasa suka lewat isyarat kecil: membetulkan seragamnya saat berpapasan, atau sekadar menunggu di tempat biasa si gadis lewat.

Mengungkapkan cinta secara langsung? Itu dianggap terlalu berani, bahkan memalukan.

Namun di balik norma yang ketat itu, sesekali muncul cerita yang tak biasa. Seorang gadis kelas 3 SMP, misalnya, pernah dengan terang-terangan mendekati cowok yang dia sukai. Di tengah masyarakat yang belum terbiasa dengan keberanian semacam itu, tindakannya jadi bahan bisik-bisik. Tapi keberanian seperti itu menandai bahwa perubahan sosial mulai merayap pelan-pelan, bahkan sejak era itu.

---

Catatan Sosial dari Tahun 1982 (Jawa)

Pada masa itu, budaya malu-malu masih sangat kental. Terutama dalam hal hubungan antara laki-laki dan perempuan. Namun, selalu ada cerita yang “mengejutkan” atau berbeda dari kebiasaan umum.

Seperti seorang gadis yang Anda kenal—masih kelas 3 SMP, tapi sudah berani menggoda laki-laki yang lebih tua. Sesuatu yang saat itu dianggap tidak biasa, bahkan mungkin dianggap terlalu “terbuka” untuk ukuran budaya Jawa tahun 80-an.

Yang lebih mengejutkan, tak lama setelah lulus SMP, gadis itu menikah dengan seorang polisi. Di usia yang masih sangat muda, dia sudah menjadi istri. Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun masyarakat saat itu dikenal konservatif, tetap saja ada jalan-jalan hidup yang menempuh arah berbeda.

---

Remaja SMA di Tahun 1980-an: Ketika Perempuan Lebih Berani

Berbeda dengan masa SMP yang masih diwarnai rasa malu-malu dan ketertutupan, dunia remaja SMA pada tahun 1980-an terasa lebih dewasa. Terutama bagi perempuan. Mereka, pada masa itu, justru terlihat lebih berani dibanding laki-laki dalam soal perasaan.

Sudah menjadi hal biasa jika seorang gadis SMA memberikan ucapan ulang tahun atau bahkan memberikan kado kepada laki-laki yang dia sukai. Ada pula yang dengan santainya meminta dibonceng motor menuju sekolah—hal yang bagi ukuran zaman itu, termasuk cukup berani dan tidak umum, apalagi di lingkungan budaya Jawa yang cenderung menjaga batas.

Sebagai laki-laki remaja saat itu, justru ada perasaan canggung. Banyak yang menganggap perempuan seusia mereka terasa lebih dewasa, bahkan seperti "kakak" sendiri. Perasaan minder atau tidak percaya diri kadang muncul, karena perempuan lebih ekspresif dan percaya diri.

Tidak sedikit perempuan yang berinisiatif menyatakan perasaan terlebih dahulu. Entah lewat surat, hadiah, perhatian kecil, atau tindakan langsung. Yang penting, rasa suka itu tersampaikan.

---

Cinta Diam-Diam di Tahun 80-an

Pada masa remaja tahun 1980-an, terutama di kalangan anak laki-laki Jawa, rasa malu adalah tembok besar yang sulit ditembus. Meski perasaan itu jelas ada, dan tatapan mata sering kali berbicara lebih jujur dari kata-kata, tapi jarang sekali ada yang benar-benar berani mengungkapkan.

Laki-laki yang menyukai kakak kelas—apalagi kalau kakak kelas itu cantik—biasanya hanya berani memandang dari kejauhan. Mungkin perasaannya terbalas, mungkin si gadis juga menyukai, tapi tak satu pun berani memulai.

Tidak ada chat, tidak ada DM, apalagi aplikasi kencan. Yang ada hanyalah tatapan di sela-sela pergantian jam pelajaran, senyum kecil saat tak sengaja berpapasan di kantin, atau diam-diam memperhatikan dari balik jendela kelas.

Begitu dalam, tapi begitu sunyi.

Cinta seperti itu sering kali tak pernah terucapkan. Boro-boro terealisasi. Namun justru karena itulah, kenangan itu terasa begitu kuat—dan abadi.

---Iya, itu menggambarkan suasana khas remaja tahun 80-an di Jawa dengan sangat kuat—perasaan yang dalam, tapi tidak pernah terucapkan. Banyak cinta yang hanya hidup dalam diam, saling tatap dari kejauhan, saling tunggu tapi tak ada yang mulai.

Dewasa Sebelum Waktunya: Realita Perempuan Jawa di Era 80-an

Budaya Jawa pada tahun 1980-an memang terasa jauh lebih "kuno" dibanding zaman sekarang. Rasa malu yang begitu kuat pada laki-laki, terutama dalam hal asmara, kontras dengan kenyataan sosial yang dijalani para perempuan seusia mereka.

Banyak laki-laki seusia SMP atau SMA masih larut dalam dunia remaja yang penuh keraguan dan malu-malu. Tapi di sisi lain, banyak perempuan seusianya justru sudah menjalani peran sebagai istri.

Mengapa? Karena pada masa itu, pendidikan bukanlah hal yang dijalani semua orang. Lulus SD saja sudah dianggap cukup oleh banyak keluarga, terutama di desa atau pinggiran kota. Lulus SMP, apalagi SMA, adalah kemewahan bagi sebagian besar perempuan.

Tak heran jika usia 15 tahun sudah dianggap cukup umur untuk menikah—karena sekolah sudah selesai, dan pekerjaan rumah sudah dikuasai. Sementara itu, laki-laki biasanya baru dianggap "siap" menikah setelah punya pekerjaan tetap, atau paling tidak, sudah terlihat mapan.

Akibatnya, banyak perempuan yang "dewasa sebelum waktunya", bukan karena pilihan pribadi, tetapi karena dorongan budaya dan kondisi ekonomi. Sementara para laki-laki masih berada di antara dunia remaja dan tanggung jawab dewasa yang belum sempat mereka jamah.

Permainan yang Tak Lagi Sekadar Mainan

Di masa SD, permainan saat istirahat masih normal dan polos: kejar-kejaran, petak umpet, atau main gundu di tanah. Anak-anak tertawa lepas, berlarian di halaman sekolah, seperti tidak ada beban hidup.

Tapi setelah jam sekolah selesai, suasana bisa berbeda.

Di kampung, sering ada permainan tangkap-tangkapan pakai sarung—kelihatannya biasa saja. Tapi yang membuat berbeda adalah percampuran usia dalam permainan itu. Anak SD, SMP, bahkan remaja SMA bisa ikut bermain bersama, tanpa batasan jelas.

Dalam permainan itu, anak laki-laki yang lebih dewasa kadang menangkap anak perempuan dan memeluknya dengan sarung. Sebagai anak kecil saat itu, saya hanya bisa memperhatikan. Awalnya terlihat seperti permainan biasa, tapi lama-lama terasa ada yang tidak wajar.

Saya sadar — itu bukan lagi sekadar permainan. Ada “modus” di balik kejar-kejaran itu. Perasaan suka kadang diekspresikan dengan cara yang vulgar, tersembunyi dalam dalih main-main. Anak laki-laki yang lebih besar memanfaatkan momen itu untuk mendekat, sementara anak perempuan mungkin tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.

Dan sayangnya, pada masa itu belum banyak kesadaran akan batas pergaulan yang sehat. Belum ada pendidikan tentang consent, belum ada istilah kekerasan berbasis gender. Semua dianggap “biasa saja”.

Dua Dunia yang Berbeda: Remaja 80-an dan Gen Z

Remaja di tahun 80-an tumbuh dalam dunia yang riuh — bukan oleh notifikasi, tapi oleh teriakan teman-teman di lapangan. Hampir setiap sore adalah waktu bermain, entah itu di sawah, lapangan, atau gang sempit depan rumah. Semua permainan adalah fisik, semua interaksi dilakukan langsung — dan semua emosi terekspresikan lewat gerak, tawa, dan tatapan mata.

Sebaliknya, generasi Z hari ini tumbuh dalam dunia sunyi di balik layar. Banyak yang lebih nyaman di kamar, ditemani ponsel, game, atau media sosial. Mereka bisa punya ratusan “teman” online, tapi tak mengenal nama tetangganya. Interaksi terjadi lewat emoji, bukan lewat pelukan sarung.

Anak-anak sekarang jarang bermain ke luar rumah. Jarang merasakan dipanggil orang tua karena main terlalu lama. Jarang mengalirkan keringat karena kejar-kejaran sore hari.

Tentu, tiap zaman punya tantangannya sendiri. Tapi bagi kami yang tumbuh di tahun 80-an, masa muda bukan tentang gadget atau wifi, tapi tentang sepeda ontel, pecel di pinggir jalan, dan cinta diam-diam yang disimpan selama bertahun-tahun.

Narasi Panjang:

“Budaya dan Sosialita Remaja Era 80-an”

---

> [Narasi Pembuka – suasana sunyi sore hari di desa, suara sepeda lewat, burung berkicau]

Dulu...

Kami tidak punya gawai.

Tidak ada YouTube, tidak ada TikTok.

Tapi kami punya masa muda yang penuh warna —

walau seringnya hanya dihabiskan di gang sempit, lapangan kecil, atau di depan rumah sambil duduk di atas sepeda.

Tahun 80-an di Jawa — masa itu terasa kuno kalau dibandingkan dengan zaman sekarang. Tapi justru karena itulah, semua kenangan terasa lebih hidup.

---

> [Segmen 1 – Cinta Malu-Malu dan Diam-Diam]

Laki-laki pada masa itu... malu-malu.

Kalau suka sama cewek, ya cuma dilihat dari jauh.

Curi pandang di halaman sekolah, senyum sedikit saat lewat di lorong.

Boro-boro ngajak ngobrol...

Ngomong “hai” saja bisa gemetaran.

Kalau sudah suka banget, paling banter nyari tahu siapa namanya.

Terus ditulis diam-diam di halaman belakang buku tulis.

Tapi perasaan itu sering tak pernah tersampaikan, apalagi terealisasi.

Hanya jadi cerita yang mengendap bertahun-tahun.

---

> [Segmen 2 – Cewek SMA Lebih Dewasa dan Berani]

Tapi tidak begitu dengan cewek-cewek SMA saat itu.

Mereka justru lebih dewasa.

Mungkin karena kondisi hidup yang menuntut mereka lebih cepat matang.

Banyak dari mereka yang berani mengucapkan ulang tahun duluan, memberi kado, bahkan terang-terangan minta dibonceng motor ke sekolah.

Sebagai laki-laki, kami kadang malah merasa seperti adik mereka.

Minder sendiri.

Mereka lebih terbuka, lebih yakin pada diri sendiri.

Ada juga yang menyatakan perasaan duluan, dengan cara mereka sendiri.

---

> [Segmen 3 – Realita Sosial: Pendidikan & Pernikahan Muda]

Tapi di balik keberanian itu, ada realita yang lebih dalam.

Banyak perempuan tidak melanjutkan sekolah setelah SD atau SMP.

Bukan karena tak pintar, tapi karena hidup berkata lain.

Sekolah itu biaya, dan prioritas kadang hanya diberikan kepada anak laki-laki.

Maka, tidak sedikit perempuan yang sudah menikah di usia 15 tahun.

Sementara laki-laki seusianya masih main bola, masih sekolah, atau bahkan belum tahu mau jadi apa.

Perempuan sudah menjadi istri, sudah mengurus rumah.

---

> [Segmen 4 – Permainan yang Tak Sederhana Lagi]

Kami juga melihat pergaulan dengan mata polos masa kecil.

Permainan seperti kejar-kejaran atau tangkap-tangkapan pakai sarung sering dilakukan sepulang sekolah.

Kelihatannya biasa.

Tapi karena usia campur aduk — dari anak kecil sampai remaja — kadang ada laki-laki yang "memeluk" perempuan sambil bercanda.

Sebagai anak kecil, saya tahu...

Itu bukan permainan biasa. Ada yang disembunyikan.

Ada modus, tapi dibalut dalam kejar-kejaran.

---

> [Segmen 5 – Komunikasi Sederhana, Tapi Penuh Makna]

Zaman kami belum ada HP.

Tapi kami tetap bisa berkomunikasi.

Lewat radio break-breakan, suara kami bisa terdengar ke kampung sebelah.

Saya pernah ikut nimbrung di jaringan itu.

Baru bicara sebentar, langsung muncul suara-suara cewek dari kampung — semua menyapa saya dengan akrab.

Ternyata, meskipun sudah lama tak bertemu, mereka masih ingat siapa saya.

Kenangan masa muda rupanya tak mudah hilang.

Kadang hanya butuh suara — lalu semua tawa, cinta lama, dan kenangan muncul kembali.

---

> [Segmen 6 – Generasi Z: Dunia yang Sunyi]

Bandingkan dengan anak muda sekarang.

Banyak yang lebih sering di kamar.

Bermain sendiri lewat layar.

Tidak tahu rasanya kejar-kejaran sore hari, nonton layar tancap, atau dipanggil orang tua karena belum pulang saat Maghrib.

Gen Z tumbuh di dunia yang berbeda.

Mereka punya kecepatan, informasi, dan teknologi.

Tapi sering kali...

Mereka kehilangan kehangatan dan spontanitas.

---

> [Penutup – Renungan Ringan]

Masa muda kami bukan yang paling hebat.

Tapi itu masa muda yang nyata.

Kami jatuh cinta benar-benar, walau hanya lewat tatapan.

Kami bermain sungguhan, berkeringat, tertawa, saling sapa.

Dan semua itu...

masih hidup di dalam ingatan saya,

dan mungkin, setelah Anda menonton atau mendengarkan cerita ini,

akan hidup pula di dalam ingatan Anda.

Contoh dialog:

Breaker Radio – "Frekuensi Kangmase Rudi"

> 🔊 Efek suara: Suara noise radio, kemudian suara laki-laki


Dedi (dengan suara tenang):
"Break break break... salam hangat saking Dedi. Kulo nyuwun monitoripun sedaya kanca lawas."

> 🔊 Efek suara: jeda, lalu suara cewek masuk



Sekar (sedikit curiga tapi sopan):
"Mas Dedi? Niki… kangmase Rudi nggeh?"

Dedi (sedikit gugup):
"Nggeh... niki pas prei kuliah."

Sekar:
"Oh... sampun dangu preine, mas. Dolen mriki to? Kok mboten ngandharaken rumiyin."
(Senyum dalam suara, menyindir manja)

Dedi (basa-basi):
"Nggeh... niki mpun ajeng mlebet malih. Matur nuwun, Sekar."

🔊 Efek suara: Suara masuk bertubi-tubi, cewek-cewek lain

---

Laras (cepat-cepat nyamber):
"Break! Mas Dedi, pun pindo kaping riyin kulo nate krungu suwaranipun... niku mboten Rudi ta?"

Sari (dengan nada genit):
"Kangmas Rudi? Leres nggeh niki suwaranipun... niki Sari, tak krungu langsung kelingan!"

Tari (agak cerewet):
"Wah... tak kira mung aku sing apal! Iki Tari mas, ojo lali... mbok yo nongol maneh kayak wingi-wingi!"

Rina (lembut):
"Mas Rudi… eh, Dedi. Nuwun wis rawuh meneh, radio dadi rame."

🔊 Efek suara: Suara tawa cewek-cewek, efek ‘klik’ masuk–keluar frekuensi

Komentar

Postingan populer dari blog ini