🎬 Surat Terakhir untuk Sekar — Episode 1: Pertemuan Pertama (Versi Panjang)
Cinta kadang tak muncul dari harapan,
tapi dari keadaan yang menuntutmu bertahan lebih lama dari seharusnya…
Bayu menatap langit mendung dari balik kaca helmnya. Hujan baru saja reda, tapi jalanan gang sempit menuju rumah tujuan masih penuh genangan. Motornya melaju pelan, sesekali memercikkan air ke celana panjangnya yang kini basah di ujung.
Di sakunya tergenggam kertas kecil, basah di tepinya:
"Nomor 17, cat biru, pot bunga di pagar."
Tulisan tangan Bu Rini, orang yang katanya butuh guru les privat untuk putrinya.
Bagi Bayu, ini bukan sekadar alamat.
Ini adalah kesempatan.
Sebagai mahasiswa tingkat tiga yang sudah tidak lagi menerima kiriman dari kampung, Bayu kini harus mengandalkan keberuntungan dan keuletan. Beasiswa tinggal sebulan lagi. Kontrakan nyaris habis masa bayarnya. Dan perut? Sudah terbiasa diajak kompromi dengan mie instan dan air putih.
Ia berhenti di depan sebuah rumah kecil yang bersih. Ada rak tanaman di pojok pagar, dan dinding berwarna biru muda. Rumah itu tidak mewah, tapi tampak penuh kehidupan. Di dalamnya terdengar samar-samar lagu lawas dari radio, mengiringi detak jantung Bayu yang sedikit gelisah.
Ia mengetuk pintu pelan.
Tak lama, seorang ibu berusia sekitar lima puluhan membukakan pintu dengan senyum ramah.
“Kamu Bayu ya? Yang dari kampus negeri itu?”
Bayu mengangguk sopan. “Iya, Bu. Saya yang ditugaskan bantu les matematika untuk… Sekar, ya?”
“Betul. Masuk aja, ya. Dia lagi siap-siap.”
Langkah Bayu masuk ke rumah itu pelan, menghapus jejak basah dari sandalnya. Ruangan dalam rumah sederhana tapi nyaman. Di atas meja ruang tamu, ada beberapa buku berserakan—sepertinya pelajaran SMA. Lalu terdengar langkah ringan dari arah kamar.
Seorang gadis muncul. Sekar.
Gadis SMA dengan rambut diikat asal, mengenakan kaus longgar dan celana training. Tapi yang paling menonjol bukan penampilannya—melainkan sorot matanya. Tenang, penuh kendali, tapi menyimpan rasa penasaran yang seperti ditahan dalam-dalam.
“Halo,” sapa Bayu. Sederhana. Sopan. Sedikit gugup.
Sekar hanya mengangguk, lalu berkata pelan, “Kita mulai sekarang?”
Mereka duduk berdua di meja kecil yang sepertinya memang difungsikan untuk belajar. Di sebelah rak TV, berjejer buku pelajaran yang tampak baru dibuka. Sekar membuka buku matematikanya, menunjuk bagian yang katanya “paling menyebalkan”.
“Integral ini... kayak dendam masa lalu. Susah diselesaikan,” celetuk Sekar.
Bayu tersenyum kecil. “Tenang. Dendam bisa dilunasi dengan logika.”
Sekar memutar bola matanya, tapi terlihat menahan senyum.
Beberapa menit berlalu dalam hening. Hanya suara pensil yang menari di atas kertas. Sesekali Bayu menjelaskan rumus, sesekali Sekar bertanya dengan dahi berkerut. Tapi kemudian, satu soal berhasil dijawab dengan benar. Sekar menatap kertas itu dengan lega.
“Kalau soal kayak gini keluar di ujian, aku bisa tenang sedikit,” katanya.
Bayu, tanpa berpikir panjang, menjawab, “Ya... kamu kan sekarang punya aku.”
Seketika, keduanya terdiam.
Bayu menyadari kalimatnya terlalu jujur.
Sekar menoleh cepat, menatapnya. Ada sekilas keheranan, tapi juga hangat.
Bayu buru-buru menunduk kembali ke buku, berdeham pelan. Sekar hanya tersenyum kecil sambil memainkan ujung pulpen di tangannya. Senyum yang tak lama, tapi cukup membekas.
Dalam hati Bayu, ada rasa aneh. Ia datang ke rumah ini demi rupiah—tapi entah kenapa, suasana ini terasa seperti istirahat dari semua kesulitan. Sekar mungkin bukan siapa-siapa. Tapi kehadirannya... seperti cahaya kecil di tengah gulita hidup Bayu akhir-akhir ini.
Mungkin hari ini hanya awal. Hanya pertemuan biasa. Tapi Bayu tahu, ada yang tidak biasa.
Ada sesuatu yang bisa tumbuh… jika waktu dan keadaan mengizinkan.
🌙 Narasi Penutup Khas:
“Ada pertemuan yang terjadi karena takdir...
Ada juga yang lahir dari kebutuhan.
Tapi saat keduanya menyatu,
bisa jadi... itulah cinta paling jujur yang tak direncanakan.”
⏱️
Komentar