🎬 Bab 1 — Pertemuan Pertama (Revisi Penuh Dialog + Narasi)
> Hujan baru saja reda ketika Aditya menuntun sepeda motornya pelan menyusuri gang sempit. Air masih menggenang di beberapa sudut, dan jaket tebal di tubuhnya belum cukup menghangatkan tangan yang dingin.
Di genggamannya, secarik kertas alamat dari Bu Rini.
"Nomor 17, cat biru, ada pot bunga di pagar."
Ia membacanya dalam hati sambil melirik kanan-kiri.
Akhirnya ia berhenti di depan rumah kecil yang bersih dan rapi. Cat biru pucat, pagar besi hitam, dan pot bunga tersusun di rak kayu. Dari dalam rumah terdengar suara radio yang pelan—lagu lawas Jawa yang sayup-sayup akrab.
Aditya (gumam):
> “Kayaknya ini rumahnya…”
> Ia mengetuk pintu pelan. Tak lama, seorang ibu membuka pintu dengan senyum ramah.
Bu Rini:
> “Kamu Aditya, ya? Yang dari kampus negeri itu?”
Aditya (tersenyum, sedikit gugup):
> “Iya, Bu. Saya yang disuruh Pak Darto. Katanya Ibu butuh bantuan les privat untuk Sekar?”
Bu Rini:
> “Iyaaa… Alhamdulillah. Masuk, Mas. Sekarnya lagi siap-siap tuh.”
> Aditya masuk. Rumahnya sederhana, tapi terasa hangat. Ada aroma teh jahe dari dapur dan beberapa bingkai foto keluarga di dinding.
> Tak lama, suara pintu kamar terbuka. Seorang gadis muncul—Sekar, mengenakan kaus lengan panjang dan celana santai. Rambutnya diikat asal, tapi wajahnya bersih, teduh… dan mata itu… menatap tanpa banyak basa-basi.
Sekar:
> “Mas Aditya, ya?”
Aditya (tersenyum canggung):
> “Iya. Halo... Kamu Sekar, kan?”
Sekar (singkat):
> “Iya. Kita mulai sekarang?”
Bu Rini (menimpali sambil membawa minuman):
> “Sek, duduk dulu tho. Mas Aditya jauh-jauh, tak bikinkan teh dulu.”
Sekar:
> “Nggih, Bu…”
> Mereka duduk di ruang tamu yang diubah jadi ruang belajar. Meja kayu kecil, dua kursi plastik, dan tumpukan buku di sisi rak.
Aditya (membuka buku):
> “Kita mulai dari mana, Sekar?”
Sekar (menatap buku malas):
> “Dari soal yang paling bikin pusing, boleh?”
Aditya (tertawa kecil:
> “Lho, kok malah yang susah dulu?”
Sekar (cengengesan):
> “Soalnya yang gampang udah bikin ngantuk, Mas.”
> Aditya mengangguk pelan, membuka lembar soal matematika, lalu mulai menjelaskan pelan-pelan. Awalnya hening—hanya suara pensil dan kertas. Tapi makin lama, Sekar mulai aktif bertanya dan melempar celetukan.
Sekar:
> “Kalau soal kayak gini keluar di ujian, aku mending bolos.”
Aditya (senyum lebar):
> “Ra usah ngono, Sek. Kowe kan saiki sinau karo aku.”
> Sekar menoleh cepat. Tatapan mereka bertemu. Sekilas. Tapi cukup lama untuk membuat dada Aditya berdebar. Ia buru-buru menunduk lagi ke bukunya.
Sekar (pelan):
> “Mas Aditya suka bercanda, ya…”
Aditya (mencoba tetap tenang):
> “Kadang. Tapi cuma kalau yang diajari orangnya… enak diajak ngobrol.”
> Sekar menunduk, pura-pura menggambar sesuatu di ujung kertas, tapi senyum kecil tak bisa ia sembunyikan.
> Hari itu, hujan memang sudah reda. Tapi di ruang tamu sederhana itu, dua hati baru saja disambungkan oleh percakapan ringan dan tatapan diam-diam.
Tak ada yang tahu ke mana cerita ini akan berlanjut…
Tapi begitulah biasanya cerita besar dimulai—dari sesuatu yang tampak kecil dan biasa saja
Komentar