Langsung ke konten utama

Kisah Cinta Rudi dan Desi Penutup

Bab 7 – Surat Terakhir

Hidup kadang memaksamu membuat keputusan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya. Bukan karena tidak mencintai, tapi justru karena terlalu mencintai, sampai harus merelakan.

Setelah kejadian sore itu—di gang kecil dekat rumah Desi—aku pergi tanpa berkata sepatah kata pun. Tapi perasaan itu tetap tinggal. Menyesakkan dada, mengganggu tidur, dan terus bertanya: Kenapa? Apa aku terlalu lambat? Terlalu jauh? Terlalu berharap?

Aku memang pernah mengalami hal beginian, 

Tapi kali ini jauh lebih menyakitkan, berhari hari aku mengalami sulit tidur, pekerjaan hanyalah pelarian, 

rasanya tidak karuan. 

Bagi kalian yg pernah merasakan hal seperti ini tentu tahu kan, 

ini sangat menyakitkan. 

Berkali kali aku memohon pada Allah agar aku dikuatkan.

Berbicara dengan teman, rasanya getir.

Terkena air hujanpun seperti tersambar petir.

Eh, masih ada pula cewek yg suka menggoda, anjir.

Berbahagialah kalian yang gak pernah mengalami hal seperti ini.

Beberapa hari setelahnya, aku duduk di kamar kontrakan, sendirian, dengan secangkir kopi yang sudah dingin. Lalu, seperti biasa, aku menulis. Tapi kali ini bukan surat cinta. Ini adalah surat terakhirku untuk Desi.

> Desi,

Terima kasih atas semua kenangan. Terima kasih karena pernah membuatku percaya bahwa jarak tak berarti apa-apa kalau hati tetap saling menjaga.

Tapi ternyata, aku salah. Karena hatimu tidak pernah benar-benar menungguku. Dan kini aku tahu, bahwa perasaanmu berganti bukan karena waktu, tapi karena kehadiran orang lain saat aku tak bisa bersamamu.

Mungkin kamu akan menyebut itu sebagai keadaan. Tapi menurutku, kesetiaan bukan tentang siapa yang hadir saat sakit, melainkan siapa yang tetap kau tunggu meski ia jauh.

Aku tidak marah. Aku hanya sedih. Karena ternyata orang yang kucintai begitu dalam... mudah luluh hanya karena sedikit perhatian dari orang lain.

Sejak saat ini, aku memilih berhenti. Bukan karena cintaku sudah hilang, tapi karena aku memilih mencintai diriku sendiri. Aku berhak untuk dicintai dengan utuh, bukan hanya ketika aku dekat.

Semoga kamu bahagia, Desi. Aku tidak akan mengganggumu lagi, tidak akan bertanya lagi, tidak akan menoleh lagi.

Ini surat terakhirku. Dan setelah ini, aku akan melanjutkan hidup... tanpamu.

Surat itu tidak pernah aku kirimkan lewat pos. Aku hanya menuliskannya, lalu menyimpannya di laci kecil di sudut meja. Mungkin suatu hari aku akan membacanya lagi. Mungkin tidak. Tapi menuliskannya membuatku merasa lega.

Sejak hari itu, aku tidak pernah lagi menghubungi Desi. Tidak lagi mencari kabarnya, tidak lagi mengecek statusnya, tidak lagi membuka pesan lama. Kami seakan kembali menjadi dua orang asing—yang pernah saling mengisi hidup, tapi akhirnya berjalan ke arah yang berbeda.

Kira kira 3 bulan aku baru benar benar bisa melupakan kejadian itu, walaupun sampai saat ini Desi tetap gadis idolaku. Bagiku Desi adalah kekasihku yang tercantik, dia bidadariku, tapi sikapnya membuatku cemburu, kecewa, dan sakit hati.  

Aku belajar bahwa tidak semua kisah cinta berakhir bahagia. Tapi semua kisah cinta bisa mengajarkan sesuatu. Dan Desi, bagiku, adalah pelajaran paling nyata tentang bagaimana cinta bisa tumbuh... dan juga bagaimana cinta bisa hilang—bukan karena waktu, tapi karena pilihan.

Dan aku? Aku memilih untuk tetap berjalan. Karena hidup harus terus berjalan. Dengan atau tanpa Desi.

---

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini