Langsung ke konten utama

Kisah Cinta Rudi dan Desi Bab3 versi 2

 Bab 3 – Perasaan Yang Tak Terucap

Langit sore mulai merona jingga ketika Rudi duduk termenung di teras kecil kost-nya. Selembar kertas putih di tangannya sudah penuh coretan, tapi belum juga rampung. Ia menghela napas panjang, lalu kembali menatap tulisan-tulisan itu.

Sudah berhari-hari hatinya gelisah. Sejak Desi lulus dari SMA beberapa minggu lalu, perasaan Rudi semakin tak bisa dibendung. Rasa suka yang awalnya tumbuh diam-diam selama sesi les perlahan berubah menjadi cinta yang tulus. Namun ada satu hal yang terus menahannya: usia.

Desi baru saja menginjak usia 18. Sementara Rudi, mahasiswa tingkat akhir, sudah hampir 25 tahun. Tujuh tahun. Angka itu terdengar kecil bagi sebagian orang, tapi bagi Rudi, itu seperti jurang yang sulit dilompati. Ia khawatir Desi hanya menganggapnya sebagai kakak atau guru les, bukan lelaki yang pantas untuk dicintai.

“Apa aku terlalu tua untuknya?” batinnya bergema. “Apa dia akan menganggapku aneh?”

Meski ragu, akhirnya Rudi memilih cara yang paling jujur tapi aman: menulis surat. Ia tak sanggup mengatakannya langsung. Maka, ia tuangkan semuanya di atas kertas—rasa takut, harapan, dan cinta.

> “Desi... Mungkin surat ini akan membuatmu heran. Tapi aku ingin kau tahu bahwa sejak mengenalmu, ada ruang dalam hatiku yang pelan-pelan terisi oleh kehadiranmu. Aku sadar, aku jauh lebih tua darimu. Mungkin terlalu jauh. Tapi aku juga tahu bahwa perasaanku ini sungguh-sungguh. Aku tak menuntut balasan, aku hanya ingin kau tahu.”

Dengan jantung berdebar, Rudi melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam amplop. Ia tulis nama Desi dengan hati-hati, lalu keesokan harinya, diam-diam ia kirimkan lewat pos ke alamat rumah Desi.

Hari-hari setelahnya terasa panjang. Rudi menjadi lebih pendiam, lebih sering melamun. Ia tidak berharap banyak—ia hanya ingin perasaannya tersampaikan, meski mungkin tak akan dibalas.

Namun segalanya berubah pada suatu sore ketika sebuah pesan masuk ke HP-nya.

> Desi:

Mas Rudi... Aku sudah baca suratnya. Awalnya aku juga kaget, tapi jujur... sejak lama aku juga punya rasa yang sama. Beda usia itu nggak penting kalau hati kita saling mengerti, kan? Aku mau, Mas.

Rudi terpaku. Ia membaca pesan itu berulang kali, memastikan itu nyata. Lalu perlahan senyumnya merekah, dan air matanya jatuh—bukan karena sedih, tapi karena bahagia yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Sejak hari itu, mereka tidak lagi sekadar guru les dan murid, atau kakak tingkat dan adik angkatan. Mereka adalah dua hati yang memilih untuk saling percaya, meski dunia mungkin memandang mereka berbeda.

Dan bagi Rudi, surat sederhana itu telah mengubah segalanya.




Komentar

Postingan populer dari blog ini