Bab 6 – Luka yang Tak Pernah Kuinginkan
Kadang hidup memberi kejutan, dan tak semuanya manis. Beberapa waktu setelah Desi sakit, aku mendapat kabar bahwa ada lowongan kerja di sebuah perusahaan teknik di Jakarta. Tanpa banyak pikir, aku langsung mendaftar. Dan ketika dinyatakan lolos ke tahap wawancara, aku merasa ini mungkin pertanda baik—bahwa semesta mulai mendekatkan langkahku kembali ke Desi.
Wawancaranya mendadak, dan waktunya mepet. Aku terbang dari tempat kerjaku di luar pulau pagi-pagi sekali, lalu langsung terbang guna mengikuti proses seleksi hingga sore. Karena jadwal pulang masih fleksibel, aku memutuskan untuk singgah ke rumah Desi. Tanpa memberitahunya—karena kupikir, akan jadi kejutan manis.
Siang menjelang sore, aku tiba di rumahnya. Disambut hangat oleh ibunya seperti biasa.
“Desi belum pulang, Mas,” ujar ibunya ramah. “Tadi siang katanya mau pulang, mungkin masih di jalan.”
Aku mengangguk dan duduk sebentar. Tapi perasaan dalam hatiku terasa gak enak. Entah kenapa, dadaku berat. Mungkin karena terlalu lama tidak bertemu. Mungkin karena... aku rindu.
Setelah cukup lama menunggu dan matahari mulai tergelincir di balik pepohonan, aku pamit untuk kembali. Tapi saat menapaki jalanan kecil di gang dekat rumahnya, hatiku seakan berhenti berdetak.
Di ujung jalan itu—aku seperti melihat Desi, "gak salah itu memang Desi, tapi ...... "
Ia berjalan perlahan, tertawa kecil, dan... bergandengan tangan dengan seorang pria.
Wajah pria itu tidak asing. Aku pernah melihatnya di unggahan story teman-teman Desi. Namanya Feri. Aku ingat samar-samar, Desi pernah menyebut namanya sebagai teman kuliah. Tapi tak pernah lebih dari itu.
Namun sore itu, genggaman mereka berkata sebaliknya. Bukan sekadar teman.
Desi mendongak dan melihatku. Langkahnya terhenti. Matanya membelalak, seolah tak percaya. Tapi tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Hanya keheningan—dan tatapan yang tidak bisa lagi dijelaskan dengan alasan.
Aku pun diam. Hatiku seperti pecah dalam satu tarikan napas. Rasanya seperti disambar petir yang sunyi, tanpa suara tapi menghanguskan segalanya. Ingin rasanya bertanya kenapa, tapi bahkan kata-kata terasa tidak berguna.
Aku hanya menatap mereka berdua. Lalu memalingkan wajah dan berusaha untuk berpamitan, kemudian melangkah pergi dengan langkah goyah.
Aku kembali ke rumahnya sebentar, berpamitan dengan ibunya, lalu meninggalkan kota itu dengan hati yang remuk. Dalam perjalanan menuju bandara, aku tidak bisa berhenti berpikir: mungkin selama ini aku terlalu percaya. Atau mungkin terlalu berharap bahwa cinta bisa bertahan meski ada jarak, waktu, dan godaan.
Aku tahu, Desi pernah sakit, dan seseorang bernama Feri hadir di saat aku tidak bisa. Mungkin dia yang mengantar Desi ke dokter, yang menemaninya saat tubuhnya lemah, yang menggantikan posisi yang seharusnya aku isi. Dan mungkin... mungkin Desi pun mulai merasa Feri lebih dekat, lebih cocok, lebih mudah dicintai—karena seumuran, karena nyata di hadapannya.
Dan aku? Aku hanya seseorang yang selalu hadir dalam bentuk pesan dan surat. Nyata di hati, tapi jauh di dunia yang sesungguhnya.
Hari itu, aku belajar bahwa cinta tidak cukup hanya dengan niat baik dan kesetiaan. Kadang, cinta juga butuh hadir secara fisik. Kadang, cinta kalah oleh jarak—oleh waktu—oleh kesempatan yang diambil orang lain saat kita sedang memperjuangkan sesuatu dari jauh.
Dan aku, harus menerima kenyataan itu... meski seluruh hatiku terasa hancur.
Dalam hatiku selalu bertanya "mengapa kau lakukan itu, Des, mengapa?"
Dengan perasaan yg tak karuan hari itu aku pergi naik pesawat, pergi ke luar Jawa untuk bekerja lagi.
Komentar