Bab 5 – Rindu yang Tak Pernah Pudar
Hidup memang tak selalu berjalan sesuai rencana. Setelah lulus kuliah, aku diterima bekerja sebagai supervisor di sebuah pabrik besar—sayangnya bukan di Jawa, melainkan di luar pulau jawa. Jauh dari tempat kuliah, dan terlebih lagi... jauh dari Desi.
Awalnya aku berpikir, mungkin ini hanya sementara. Satu-dua tahun mengumpulkan pengalaman, lalu kembali. Tapi waktu berjalan lebih cepat dari yang aku sangka. Sementara jarak terasa semakin nyata, terutama setiap kali kami hanya bisa mengirimkan pesan di layar kecil atau lewat surat yang ku kirimkan sebulan sekali.
Surat-surat itu menjadi pengikat hati kami. Dalam goresan tinta, aku menumpahkan rindu, cerita harianku, hingga doa-doa kecil agar Desi tetap kuat dan semangat menjalani kuliahnya. Lewat WA, kami tetap terhubung setiap malam, meski hanya dalam bentuk suara atau emoji yang tidak bisa menggantikan hangatnya tatapan.
Suatu hari aku mengirim pesan, tap lama sekali tidak ada balasan. Sehari dua hari, 1 Minggu gak ada balasan. Aku mulai gelisah, Coba aku telpon, tapi gak diangkat. Ada apa ini ya. Aku coba hubungi adiknya di rumah tapi katanya gak tahu, malahan jawab, "mungkin sedang sibuk mas, barangkali sedang UTS." Aku mencoba berpikir positif, bener juga ya, bisa bisa aku mengganggu.
Sampai Minggu ke 2, belum ada berita. Ada apa ya, masa sih UTS gak ada liburnya.
Sampai pada Suatu malam, ada pesan dari Desi membuat dadaku sesak.
> “Mas… aku Minggu lalu sakit. baru hari ini sedikit enak badan. Tapi aku nggak mau bikin Mas khawatir.”
Aku terpaku membaca pesannya. Ingin rasanya terbang saat itu juga ke Bogor, menggenggam tangannya, menemaninya, memastikan ia cukup istirahat. Tapi kenyataan berkata lain. Tiket pesawat tidak murah, cuti tidak mudah didapat. Aku hanya bisa menemani dari kejauhan, menuliskan kata-kata penguat seolah itu bisa menggantikan pelukan hangat.
> “Des... tolong jaga diri ya. Aku tahu kamu kuat. Tapi jangan lupa istirahat. Makan yang cukup. Aku doakan tiap malam, semoga cepat sembuh. Suatu hari nanti, kita nggak perlu lagi merindukan dalam diam.”
Aku tak kuat menahan lagi, kemudian aku telpon dia.
"Halo Des! Bagaimana keadaanmu?"
"Ya, halo mas, aku udah mendingan sekarang sih. Tapi aku gak mau ngobrol lama nih mas, aku mau istirahat."
"Yah, ngobrol aja kan gak perlu energy besar, aku kangen nih."
"Iya maaf mas, aku butuh tenang dulu, gak mau terganggu emosiku. Minggu depan, aku mau UTS mas, jadi aku perlu ketenangan, jadi tolong jangan hubungi aku dulu ya."
"Oh ya ya ya, maaf maaf kalau begitu, banyak tugas yang numpuk ya?"
"Iya mas, aku baru sakit. Jadi banyak laporan yang tertunda. Udahan ya mas, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam" , tuuut telepon ditutup.
Aku paham masalah kuliah di jurusan science memang butuh perjuangan khusus buat menyelesaikan tugas tugas kuliah, praktikum, laporan, observasi lapangan. Semua perlu waktu ekstra. Okelah aku lebih tenang sekarang.
---
Di tempat kerjaku, aku menghadapi tantangan yang berbeda. Sebagai insinyur muda di pabrik besar, aku cukup menonjol. Perhatianku yang fokus, cara kerja yang rapi, serta posisi yang strategis membuatku tak luput dari perhatian—termasuk dari para wanita yang bekerja di sana.
Ada yang terang-terangan mendekat, ada yang menyelipkan pujian dalam canda. Tapi hatiku tetap diam, bahkan membeku, jika bukan Desi yang ada di hadapanku. Dalam kesepian malam, dalam lelah sehabis kerja, bayangan wajah Desi yang selalu menguatkanku.
Aku tahu, cinta sejati diuji bukan hanya oleh jarak, tapi juga oleh pilihan-pilihan kecil setiap hari. Dan setiap hari, aku memilih tetap setia.
Aku terus berusaha mencari peluang pekerjaan di Jawa. Beberapa kali aku mendapat panggilan wawancara di Bogor, Bandung, bahkan Jakarta. Meskipun belum ada yang berhasil, setiap kesempatan itu selalu ku manfaatkan untuk setidaknya mampir ke rumah Desi—walau hanya satu-dua jam, walau hanya untuk melihat senyumnya dari dekat.
Waktu bersama itu sangat singkat. Tapi cukup untuk mengisi ulang rindu yang mulai menipis. Cukup untuk menguatkan lagi langkah-langkahku di perantauan.
Desi selalu berkata,
> “Mas, aku nggak keberatan menunggu. Yang penting Mas tetap seperti sekarang. Tetap Mas Rudi yang aku kenal.”
Dan aku pun selalu membalasnya dengan satu janji yang tak pernah berubah,
> “Tunggu aku ya, Des. Nanti akan ada waktunya kita nggak perlu lagi saling menunggu, karena kita sudah berjalan bersama."
Komentar