Langsung ke konten utama

Kisah Cinta Rudi dan Desi Bab 4

Bab 4 – Perjalanan ke Kota Hujan

Hari itu matahari bersinar cerah, tapi tidak sepanas biasanya. Mungkin karena hatiku sedang sejuk oleh kabar gembira dari Desi.

"Mas, aku keterima! Di universitas negeri Bogor!" tulisnya dalam pesan singkat yang penuh semangat. Bahkan dari teks saja, aku bisa merasakan betapa bahagianya dia.

Aku tersenyum lebar. Sejujurnya, sejak Desi lulus SMA, aku sempat khawatir kami akan terpisah jarak—dan dalam banyak hal, memang itu sedang terjadi. Tapi kabar ini seolah menjadi jawaban bahwa Tuhan masih mengizinkan kami berjalan berdampingan, meski tak selalu berdekatan.

Beberapa minggu kemudian, aku sudah resmi lulus dari kampus. Ijazah di tangan, toga sudah dilipat rapi, dan hidupku mulai melangkah ke babak baru. Di waktu yang hampir bersamaan, Desi harus pindah ke Bogor untuk memulai kuliah. Kami sepakat, aku akan menemaninya ke sana, setidaknya untuk mengantar dan memastikan ia baik-baik saja di kota barunya.

---

Perjalanan dengan bus itu jadi momen yang tak akan pernah aku lupakan. Kami duduk berdampingan, saling bercerita, saling tertawa. Bus yang biasanya terasa sempit, hari itu justru terasa seperti dunia kecil milik kami berdua. Ada obrolan ringan tentang masa depan, candaan tentang hal-hal remeh, dan sesekali... keheningan yang hangat—cukup dengan saling pandang.

"Mas, nanti aku kos di daerah Tanah Baru. Dekat kampus, tapi lumayan tenang," kata Desi, sambil menatap ke luar jendela. “Tapi katanya nggak boleh sembarang cowok masuk... jadi Mas cuma bisa ngantar sampai depan ya.”

Aku tersenyum, mengangguk. “Nggak apa-apa. Selama kamu aman dan nyaman di sana.”

Sesampainya di Bogor, kami turun dari bus dan naik ojek ke arah kos-kosan Desi. Jalanan sedikit basah sisa hujan semalam. Angin kota Bogor yang khas menyambut kami, seolah menyampaikan bahwa inilah tempat baru bagi Desi untuk tumbuh dan bermimpi.

Ketika kami tiba di depan gerbang kos, langkahku mulai berat. Bukan karena lelah, tapi karena sebentar lagi aku harus melepasnya. Bukan selamanya, tapi cukup lama.

Desi menoleh padaku. “Makasih ya, Mas... udah nganterin. Udah nemenin. Udah selalu ada.”

Aku hanya mengangguk, menahan semua kata yang ingin kuucapkan. Lalu tanpa banyak bicara, aku mendekat dan menempelkan kecupan singkat di keningnya. Sebuah salam perpisahan... sekaligus janji dalam diam, bahwa aku akan terus mendukungnya, dari jauh sekalipun.

“Jaga diri ya, Des.”

Desi mengangguk pelan. Matanya berkaca. “Iya, Mas... Mas juga ya.”

Lalu ia melangkah masuk, meninggalkanku di depan gerbang kos yang tertutup perlahan. Aku berdiri cukup lama, menatap tempat yang kini menjadi dunia barunya. Dan dalam hatiku, aku berdoa—semoga jarak tak mengurangi rasa, dan waktu tak melemahkan cinta.



Komentar

Postingan populer dari blog ini