“Bayangkan ini: pagi-pagi buta, sebelum ayam pun berkokok, seorang wanita sudah bangun. Dia mencuci, memasak, membersihkan rumah, mengurus anak-anak, dan memastikan semuanya berjalan lancar. Tapi, apa balasannya? Kata-kata yang menusuk hati. Apakah salah jika seorang ibu merasa lelah?”
Seorang ibu, setiap hari mengulang siklus yang sama. Tangannya kasar bukan karena ia tidak merawat diri, tapi karena ia merawat semuanya. Rumah bersih yang kita tinggali? Itu hasil tangannya. Makanan hangat di meja? Itu peluhnya.
Seorang ibu selalu berusaha untuk menyediakan keperluan bagi anak-anaknya sebelum mereka berangkat sekolah dan menyiapkan kebutuhan untuk suaminya yang akan berangkat kantor. Jangan sampai mereka pergi tanpa sarapan dahulu karena ibu akan mengkhawatirkan kondisi anak-anaknya.
Tapi seringkali, apa yang ia dapatkan bukan ucapan terima kasih. Yang ada malah suara-suara lantang yang menyalahkan.
“Masak apa ini? Nggak enak!”
“Rumah kok masih berantakan!”
“Kenapa kamu lambat banget sih?”
Dia diam. Air matanya jatuh di dalam hati, karena seorang ibu diajarkan untuk bertahan. Untuk menjadi kuat. Tapi dia tetap manusia. Dia lelah, dia sakit, dia juga ingin dihargai.
Malam hari, saat semua orang sudah tidur, ia duduk sendiri di sudut kamar. Menatap tangannya yang lelah. Bertanya-tanya, “Apa aku cukup? Apa aku layak dicintai?”
Ibu bukan superwoman. Dia hanya manusia biasa yang mencintai keluarganya dengan cara paling tulus. Maka, jika kamu sedang bersama ibumu, berhentilah sejenak. Perhatikan wajahnya. Adakah kerutan yang bertambah? Tangan yang mulai gemetar? Itu adalah bukti pengorbanannya.
Jika kalian menemui kondisi seperti itu maka jangan lupa untuk berterima kasih atas perjuangannya selama ini. Karena sebenarnya seorang ibu sudah mengerjakan dengan sekuat tenaga apa yang bisa dia lakukan.
“Hari ini, katakan pada ibumu, ‘Terima kasih’. Peluk dia, meski hanya sebentar. Karena seringkali, yang ia butuhkan bukan harta, bukan kemewahan. Yang ia butuhkan hanyalah rasa dihargai dan disayangi.”
Komentar