Kado spesial kemerdekaan tengah disiapkan kaum ekspatriat Indonesia di Malaysia. Awal Agustus ini, mereka mulai menggerakkan jejaring yang mereka sebut Indonesian Brain Circulation Network (IBCN). Yakni jaringan kaum profesional Indonesia di luar negeri. Mereka bertekad menyumbang apa pun bagi kemajuan Tanah Air. Dipakai istilah brain, karena untuk menepis citra miring di balik fenomena yang populer dengan sebutan brain drain. Yaitu gejala terkurasnya kaum cerdik pandai, berkurangnya para memilik "otak" brilyan dari sebuah negeri, akibat hijrah ke luar negeri untuk membangun karier berstandar internasional sekaligus mendongkrak kompetensi. Fenomena ini lebih sering dilihat secara negatif. Kaum profesional perantau mancanegara itu kerap mendapat kritik kurang nasionalis. Mereka dinilai kurang peduli pada nasib bangsa yang memerlukan keahlian mereka. Lebih-lebih, mereka yang terikat kontrak beasiswa atau dinas pegawai negeri bisa dituding mangkir.
Hari Primadi, Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Komisariat Kuala Lumpur, menyangkal asumsi seolah-olah kaum profesional perantau demikian egois. Hanya memikirkan karier pribadi. Banyaknya tenaga ahli di mancanegara itu, bila dikonsolidasi lewat jaringan yang produktif, menurut Hari, justru berpeluang memberi banyak keuntungan (brain gain) bagi perkembangan dalam negeri. "Untuk menjawab kekhawatiran brain drain, kami bikin jaringan untuk mendapatkan brain gain," kata Hari. India dan Cina bisa dirujuk sebagai model negara yang berhasil meraup keuntungan dari diaspora kaum terdidiknya ke pelbagai penjuru negara.
Indonesia, sebagai negara berpopulasi terbesar ketiga di Asia setelah Cina dan India, semestinya bisa belajar pada dua negara itu, yang memiliki problem kependudukan mirip Indonesia. Misalnya pengangguran, kemiskinan, dan dampak sosial ledakan jumlah penduduk. Hari menolak penilaian bahwa jaringannya itu sekadar aksi latah, mengingat begitu banyak organisasi masyarakat Indonesia di luar negeri. Magister teknik geologi dari ITB yang pernah tiga tahun bekerja di Petronas, Malaysia, itu menggarisbawahi, jaringannya akan memprioritaskan agenda pada peran nyata. Target brain gain itu difokuskan pada upaya menyumbang akselerasi pembangunan domestik dan peningkatan daya saing global.
Aksi kolektif mereka tengah dirumuskan. Tapi, secara perorangan, sejumlah anggotanya memiliki anak asuh di Aceh dan Batam. Selain kaum ekspatriat, mereka menggalang dukungan para pelajar Indonesia di luar negeri, dunia industri, organisasi profesi, perwakilan RI, hingga
perguruan tinggi. Agustus ini, mereka menyiapkan peluncuran website dan blog sebagai wadah jaringan berbasis teknologi informasi. Telah dibentuk tim inti IBCN, yang terdiri dari beberapa organisasi profesi dan dosen. Tim ini fokus membangun jejaring sebagai tulang punggung.
Konsolidasi tenaga ber-skill tinggi itu, untuk konteks Malaysia, punya manfaat tersendiri. Bisa menghapus citra umum bahwa tenaga kerja asal Indonesia hanya mampu jadi pekerja rendahan: kuli bangunan, penjaga kebun sawit, sopir, atau pembantu. Padahal, banyak tenaga ahli yang amat diperhitungkan industri Malaysia. Pada saat ini, di negeri jiran itu, ekspatriat asal Indonesia
sebagian besar bekerja sebagai peneliti dan dosen (51%). Berikutnya di bidang minyak dan gas (25%). Lalu bidang teknologi informasi dan telekomunikasi (6%), dokter (6%), perdagangan (6%), dan pilot serta awak kabin (5%). Di Kuala Lumpur saja, IATMI punya anggota 200-an orang.
Peta itu, kata Hari, menandakan bahwa kaum profesional Indonesia diapresiasi di Malaysia. Bermula dari Malaysia, IBCT hendak mengembangkan jaringan ke negara terdekat, seperti Singapura, Thailand, dan Jepang. Seluruh rencana kado kemerdekaan yang diberi label "Semangat Merah-Putih dari Kuala Lumpur" itu disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ketika pertemuan pucak D-8 di Kuala Lumpur, awal Juli lalu.
SBY menilai konsep jejaring itu sebagai gagasan mengesankan. Rencana tersebut didukung, dengan saran, tidak terlalu terjebak jadi organisasi formal. Isu sumbangsih warga Indonesia di perantauan, baik karena studi maupun bekerja, juga menjadi pusat perhatian dalam berbagai kunjungan SBY ke sejumlah negara, seperti Australia dan Amerika Serikat.
Pada saat menghadiri pertemuan APEC di Australia, September 2007, SBY harus menjawab pertanyaan mahasiswa Indonesia tentang apa yang semestinya mereka lakukan usai kuliah: tetap tinggal di negara itu atau pulang kampung? Kebetulan, ketika itu dilangsungkan Konferensi Internasional Pelajar Indonesia bertema "Stay Abroad or Return Home?"
SBY memaklumi keengganan banyak warga Indonesia untuk pulang kampung. Mengingat iklim kerja di Indonesia belum memadai. Di era global dan kemudahan teknologi informasi, kata SBY, bukan zamannya lagi mengecam mereka tidak cinta Indonesia. Sumbangsih pada nusa-bangsa bisa dilakukan di dalam negeri maupun di luar negeri.
Bila tersedia peluang, SBY menyarankan mereka tetap di luar, memperbanyak wawasan dan pengalaman. "Mengabdi pada negara bisa dilakukan dari mana saja dengan profesi apa saja," katanya. SBY menghendaki, Indonesia memiliki lapisan kecil masyarakat yang ia sebut critical mass, yang berkemampuan tinggi dan berdaya saing global.
SBY mencontohkan India, Cina, dan Jepang yang menebar putra-putri terbaiknya ke pelbagai penjuru dunia. Mereka menjadi jaringan efektif untuk menghubungkan negara mereka dengan dunia. "Akhirnya semuanya bermanfaat bagi ekonomi dalam negeri mereka," ujar SBY kepada para pelajar Indonesia di Sydney.
Tapi diingatkan oleh SBY, bila suatu saat negara memanggil, meraka harus pulang. Dicontohkan tentang kesediaan B.J. Habibie pulang ketika dipanggil Presiden Soeharto. Padahal, sebagai ilmuwan papan atas di Jerman, Habibie menikmati banyak fasilitas.
Pada saat berkunjung ke markas Microsoft di Seattle, Amerika Serikat, SBY menemui 40-an profesional Indonesia. Kepada mereka, SBY bertanya, "Kalau Indonesia membangun research center yang IT based, Anda mau pulang?" Mereka spontan bilang mau. "Saya senang mendengar
jawaban mereka. Nyes rasanya," kata SBY.
Di Tanah Air, kesulitan mencari sumber daya manusia (SDM) terampil dirasakan pada beberapa sektor. Antara lain sektor perminyakan. Ketika berkunjung ke Gatra, Kamis pekan lalu, Direktur Utama Pertamina, Ari H. Soemarno, menyatakan bahwa masalah utama Pertamina kini adalah SDM dan teknologi. Soal dana sudah bisa diatasi. Lebih-lebih, SDM dan teknologi untuk eksploitasi minyak di lepas pantai dan laut dalam. Padahal, cadangan minyak banyak terdapat di lepas pantai. Di lapangan Karama, di Laut Makassar, Pertaminam terpaksa bekerja sama dengan Stat Oil dari Norwegia, yang berpengalaman memproduksi minyak dari laut.
"Cari SDM ini susahnya minta ampun," kata Ari. Bukankah Indonesia punya segudang SDM perminyakan berkualitas? "Iya, banyak, tapi dipakai orang luar," ujar Ari. Di Indonesia, kini ahli reservoar dengan pengalaman 10-15 tahun digaji US$ 18.000-US$ 20.000 per bulan. "Di luar jauh lebih besar," tutur Ari.
Ari punya 12 mantan anak buahnya yang kini bekerja di Stat Oil, menjalankan kilang LNG di dekat Kutub Utara yang bersuhu sampai minus 40 derajat celsius. Mereka digaji hingga US$ 18.000 per bulan, dengan sistem 47 hari kerja, 30 hari libur. Waktu libur mereka manfaatkan untuk pulang kampung, tapi tetap digaji. Ada juga sekitar 400 insinyur Indonesia yang bekerja di beberapa kilang LNG di Qatar.
Kualitas insinyur perminyakan dan pertambangan Indonesia, kata Ari, diakui dunia. "Mereka bilang ke saya, thank you very much, orang Anda ajarin kami," ujar Ari, menirukan ucapan mitranya di Stat Oil. Namun gaji besar itu kadang bukan segalanya.
Belakangan, Ari melihat mulai ada gerakan pulang ke Tanah Air. Selain alasan sentimental, seperti cinta pada nasi dan udara tropis, juga karena industri perminyakan dalam negeri makin profesional. Pertamina sejak jadi persero, kata Ari, mulai sanggup menggaji dengan standar
internasional. Dengan iklim usaha domestik yang kian kondusif macam ini, tanpa dipanggil negara pun, kaum profesional terbaik bangsa ini pasti kembali dengan senang hati. Tanggapan artikel ini ada di Standar Gaji Indonesia.
Komentar